Berita Nasional Terpercaya

WhatsApp, Line, dan OTT Lainnya Menjamur, Pemasukan Operator Kian Menipis

0

HarianBernas.com ? Adanya keberadaan para pemain over the top (OTT) harus lebih ditakutkan dalam persaingan usaha telekomunikasi jika dibandingkan dengan tarif interkoneksi. OTT seperti halnya WhatsApp, Skype, Line dan masih banyak lagi memang sudah menjamur dalam beberapa tahun terakhir ini, layanan telekomunikasi seperti halnya voice call dan SMS malah jadi korban kekejaman OTT. Akibatnya,  pendapatan operator terus saja menipis.

Menurut Ibrahim Kholilul Rohman, dokter ICT asal Indonesia lulusan Swedia dan lama bergerak di urusan regulasi telekomunikasi Eropa mengatakan, “Di Indonesia yang diributkan masih tentang soal interkoneksi. Padahal saat ini di luar sana yang jadi concern ialah soal OTT.”

Jika diperhatikan, di sisi lain pendapatan dari sisi trafik data memang terus sajai meningkat. Tren yang terjadi memang tak bisa dihindari lagi, menurut pendapat Ibrahim.

Oleh karena itu, jika operator hanya berpikir untuk berselisih paham tentang penurunan biaya interkoneksi maka sebaiknya berpikir bagaimana dapat mendorong kembali trafik pemakaian voice lintas operator.

Ibrahim menyarankan jika para operator untuk berpikir lebih jauh lagi.

“Operator seharusnya think beyond telco. Mereka harusnya dapat lebih concern mengantisipasi isu soal OTT dan bagaimana untuk memanfaatkan kondisi ini untuk dapat mendorong ekonomi digital,” tambah Ibrahim.

Memang pro dan kontra mengenai penurunan biaya interkoneksi terus saja bergulir walaupun pemerintah sudah mengeluarkan surat edaran (SE) tentang implementasi dari sebelumnya yang rata-rata Rp 250 per menit, turun 26% dan menjadi Rp 204 per menit.

Jika melihat pemerintah sendiri, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, berencana untuk menerapkan kebijakan tarif itu per 1 September 2016 sampai Desember 2018 sesuai dengan SE No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016.

Pola kebijakan yang sudah diterapkan dari kebijakan ini pun harus simetris. Walaupun operator dominan dan operator minoritas akan dikenakan dengan perhitungan yang sama.

Baca juga Bulan Depan, Telepon Beda Operator Bisa Makin Murah

Walaupun kebijakan ini sudah dievaluasi oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) setiap tahunnya, aturan ini pada akhirnya membelah operator menjadi dua kubu yang bertolak belakang.

Di Eropa sendiri, menurut Ibrahim, saat ini Europe Commission (EC) pun masih mengkaji berbagai aturan untuk OTT.

?Hingga kini masih menjadi perdebatan juga di sana dengan Google dan Yahoo. Soal aturan untuk mereka sendiri,? terang Ibrahim.

Tentang permasalahan OTT ini sebenarnya memang sempat dibahas oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara. Ia juga pernah mengatakan sedang mengkaji kemungkinan adanya aturan baru yang menjadi bahan diskusi oleh EC di Eropa terkait tentang OTT Internasional.

Menurut Ibrahim, EC sedang melihat adanya kemungkinannya OTT internasional subjek kepada lisensi. Seperti halnya para operator telekomunikasi.

“Saya sendiri juga sedang mengikuti perkembangannya terus. Kalau misalnya di sana diberlakukan seperti itu, maka di Indonesia juga harus bisa melakukan hal yang sama,” tuturnya.

Oleh sebab itu, ia akan selalu mendorong terus menerus tentang OTT Internasional seperti halnya Twitter untuk bisa memiliki badan hukum. Dengan adanya hal ini, tambah Ibrahim, supaya ketika nantinya kajian yang dilakukan oleh Eropa sudah diterapkan, maka OTT Internasional juga sudah bisa melanjutkan izin lisensi.

Menurut Ibrahim, jika Eropa sudah resmi menerapkan aturan tersebut pada tahun 2016 ini, maka Indonesia harus  secepatnya akan mengikuti langkah Uni Eropa.

“Kalau Eropa 2016 sudah menerapkannya, maka kita akan ikut. Secepatnya saja ga perlu nunggu tahun 2017. Saya juga akan siapkan beberapa kerangka peraturannya. Bahwa itu nanti aturannya akan berbentuk Peraturan Menteri atau apa belum tahu. Tetapi begitu mereka terapkan ya kita ikuti,” tutup Ibrahim.

Leave A Reply

Your email address will not be published.