Berita Nasional Terpercaya

Piye Kabare, Enak Jamanku Toh?

0

HarianBernas.com – Beberapa waktu lalu, ada sebuah fenomena yang cukup menguras perhatian warga bangsa ini, termasuk menggelitik penulis. Fenomena tersebut adalah menjamurnya foto mantan Presiden Soeharto dengan kalimat sapaan ?Piye kabare, enak jamanku toh??

Entah dari mana dan siapa yang memulai mempopulerkan kalimat ini, namun kini kalimat tersebut menjadi sangat fenomenal di semua kalangan. Mulai dari kalangan menengah ke bawah sampai menengah ke atas. Sapaan mantan Presiden Soeharto ini sambil mengangkat tangan disertai senyuman khasnya ?the smiling president? menyapa rakyat Indonesia lewat aneka ?penampakan? dari berupa repro foto, stiker, poster, T-Shirt, gantungan kunci, sampai lukisan di pantat bak truk. Bahkan penampakan ini juga sampai di dunia maya Youtube, serta media sosial. Bak jamur di musim hujan, akhir-akhir ini banyak bermunculan atribut tersebut yang terpasang di tepi-tepi jalan raya yang dianggap strategis.

Saya tidak tahu apa motivasi tersembunyi di balik semua ini, iseng belaka kah? Sengaja kah? Atau justru sebagai reaksi kritis atas kondisi sosial politik yang terjadi saat ini? Namun yang jelas, sepengetahuan penulis sampai saat ini, rasanya belum ada gerakan ataupun aksi yang menolak fenomena ini. Yang ada, malah seolah dibiarkan ?liar? tersebar ke seluruh lapisan warga bangsa.

Saya juga tidak bermaksud berpolemik pro dan kontra atas hal ini. Kita pun tidak perlu emosional menanggapinya, lantas menjadikannya sebagai sebuah polemik pro dan kontra atas penampakan mantan presiden Soeharto dengan sapaan, ?Piye Kabare, Enak Jamanku To!?

Terlepas apakah ini kerjaan orang iseng belaka yang kemudian terbaca sebagai reaksi kritis atas kondisi sosial politik bangsa saat ini. Bisa juga begitu, tapi setidaknya di sini kita diajak bercermin pada sebuah realita apa sesungguhnya yang tersembunyi dan tersirat di balik yang tersurat dari kata-kata ?piye kabare?.

Tinggal kita sendirilah yang menilai soal benar tidaknya pesan yang terkandung dari makna tulisan kata-kata tersebut. Bagi penulis, rasanya fenomena ini seakan sudah menghipnotis warga bangsa ini untuk sedikit membuka memori tentang kepemimpinan bangsa ini. Dalam satu diskusi terbatas di gedung Joeang Jakarta beberapa waktu lalu, Prof DR Susanto Zuhdi selaku sejarahwan menanggapi fenomena tersebut.

Menurutnya, fenomena tersebut jangan sampai menimbulkan kebencian rakyat terhadap sebuah rezim. Karena bagaimana pun lanjutnya, setiap rezim dan pemimpin bangsa masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan pada saat berkuasa. Yang lebih penting untuk dilakukan warga bangsa ini adalah menatap masa depan bangsa dengan sejuta permasalahan.

Untuk itu, penulis lebih tertarik untuk berpikir positif. Adanya fenomena poster Soeharto mungkin bisa dijadikan cambuk motivasi untuk lebih baik lagi ke depan. “Piye kabare, enak jamanku toh?” merupakan inisiatif berbagai kalangan sebagai gambaran protes masyarakat untuk mengembalikan rasa aman dan nyaman yang hari demi hari semakin luntur. Mereka meminta vaksin agar virus korupsi berhenti mewabah di dalam lingkaran kekuasaan.

Kini, memasuki 19 tahun era refomasi sudah berjalan, piye kabare? Pada kenyataannya, masih banyak yang berpandangan dan menilai bahwa gerakan Reformasi 1998 hanyalah sebatas pencapaian pergantian rezim, belum membawa perubahan menyeluruh pada taraf kehidupan rakyat secara signifikan sebagaimana cita-cita Reformasi, malah bertolak belakang, harga kebutuhan sembako terus melonjak, pengangguran kian menumpuk karena semakin keterbatasan penciptaan lapangan kerja, begitu reformasi di bidang administrasi birokrasi nyatanya lebih banyak diperuntukkan bagi kepentingan partai politik yang berujung dengan semakin merajelalanya tindak korupsi.

Justru yang tak kalah mengerikan dari buah reformasi adalah anarkisme yang ditandai oleh semakin maraknya tindakan kekerasan. Teror bom, amuk massa, kekerasan atas nama ideologi, bahkan demo unjuk rasa yang mengatasnamakan kebebasan menyampaikan pendapat dilakukan secara anarkis dan berujung bentrok dengan aparat keamanan.

Korban pun berjatuhan, termasuk korban nyawa melayang karenanya. Inilah bagian dari buah Reformasi yang juga melahirkan mimpi buruk, demokrasi anarkisme yang justru harus hilang dari bumi Indonesia. Sebagian kalangan menilai gerakan Reformasi 1998 sudah melenceng dan kebablasan dari cita-cita luhurnya.

Pada akhirnya, banyak pandangan dan penilaian bahwa gagalnya Era Reformasi ini tidak lepas dari lemahnya ketokohan kepemimpinan nasional dalam memimpin negeri ini yang pada akhirnya menimbulkan krisis kepemimpinan. Kelemahan dan krisis kepemimpinan inilah yang kemudian dipandang semakin memperburuk situasi. Sementara elit politiknya sendiri lebih sibuk berakrobatika dengan kepentingan politik pragmatisnya.

Di tengah terjadinya krisis kepemimpinan dan krisis multidimensional,  Indonesia selalu dihadapkan dengan aktifitas demokrasi ?Indonesia Memilih Pemimpin Bangsa? melalui Pilkada, Pilpres dan Pileg. Di mana aktifitas ini diharapkan tidak terjadi kesalahan pilih pemimpin, jangan juga asal pilih apalagi tidak mau memilih. Masa depan bangsa Indonesia ada di tangan kita rakyat Indonesia.

Dalam situasi seperti saat ini yang kita butuhkan tak lain adalah pemimpin yang memiliki ?The X Factor? seperti komitmen personaliti yang kuat, menjaga spirit reformasi pada rel yang benar, berintegritas tinggi, tegas bersikap, tidak terindikasi korup, berani berkorban, adil tidak tebang pilih, dan memiliki gagasan besar, visioner yang mampu membawa perubahan menuju Indonesia baru yang berdaulat dan bermartabat.

Seorang calon Presiden dambaan rakyat adalah ia yang mempunyai kekuatan pikiran (ilmu pengetahuan), kekuatan kekuasaan (harta cukup berlebih dan simpatisan), kekuatan diri (kesehatan mental, pikiran, dan badan). Selain itu, ia harus memiliki kekuatan spritual (iman) serta kekuatan imajinasi guna merancang pembangunan yang mengarah pada kesejahteraan rakyat banyak seutuhnya, baik dari pemenuhan kebutuhan hidup keduniaan maupun yang bersifat Ketuhanan.

Pemimpin yang akan dipilih oleh rakyat adalah pemimpin yang dapat meneruskan kelebihan-kelebihan para pemimpin yang lalu serta memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi pada masa lalu. Kini, bukan saatnya memilih pemimpin yang hanya bisa menjelek-jelekkan para pemimpin bangsa terdahulu.

Nama-nama yang akan mengorbit di bursa pemilihan pemimpin nanti harus tercatat memiliki nilai lebih ?The X Factor? untuk diandalkan di ajang ?Indonesia Memilih Pemimpin bangsa? kini sapaan Pak Harto lebih baik diganti menjadi: ?piye kabare, jamannya milih pemimpin yang enak to!?  Pemimpin pilihan dan mengerti akan keinginan rakyat. Semoga.

Muhammad Fahmi, ST, MSi

Pemerhati masalah Sumber Daya Manusia dan masalah Tematik Bangsa, Kandidat Doktor Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Negeri Jakarta, Master of Ceremony, Trainer Publik Speaking/Kehumasan. Salam Merah Mempesona Menggelitik Hati

[email protected] | WA: 08158228009

Leave A Reply

Your email address will not be published.