Berita Nasional Terpercaya

Kemapanan Bandara-Bandara Kita Menunjang Kejayaan Dirgantara Indonesia

0

HarianBernas.com – Percepatan dan perkembangan penumpang transportasi udara sejak tahun 2001 dengan lahirnya banyak maskapai LCC nampaknya diluar dugaan pemerintah, regulator itu sendiri. Contoh saja bandara ibu kota Negara kita Sukarno Hatta International Airport (Soetta) yang diresmikan tahun 1986 didesain menampung penumpang 30 juta per tahun. Namum tahun-tahun terakhir sudah melayani penumpang di Soetta 62 juta/per tahun, 3 kali lipat dari keadaan normal.

Antisipasi pemerintah nampak gagap sekali, awal tahun 2014 baru dilakukan perluasan terminal 3, run way hanya 2 runway saja, letak bandara yang dikepung kampung pemukiman penduduk membuat otoritas bandara tidak berkutik menambah run way ke 3, dan akhirnya diambil keputusan membuat bandara alternatif di Karawang, namun bandara yang akan datang di Karawang paling cepat akan bisa beroperasi tahun 2018.

Kita semua tahu sebaran penumpang ke penjuru tanah air, bermula dari stasiun keberangkatan Sukarno Hatta. Artinya semua penumpang udara di Indonesia yang semakain lama merogoh kocek semakin dalam karena berbagai kenaikan airport tax, sangat muskil mendapat pelayanan yang layak selama di bandara Sukarno Hatta, mengingat kedaan akan berubah 4 tahun ke depan. 

Menunggu bandara Karawang jadi dan dioperasikan, sebuah keadaan darurat hak pelayanan penumpang maskapai yang masyarakat pengguna maskapai tidak bisa berbuat banyak. Belum lagi akses ke bandara yang buruk mengingat kemacetan di dalam kota semakin menggila, untung sebentar lagi ada harapan kereta bandara ke Soetta walau kurang ideal, mengingat stasiun-stasiun yang disinggahi masih stasiun tertentu .

Daya tampung Bandara Soetta Cengkareng yang idealnya hanya mampu menampung 30 juta penumpang per tahun, saat ini harus menampung pergerakan penumpang 62 juta per tahun. Maka tidak heran bandara kebanggan RI Sukarno hatta menjadi super padat baik dari sisi penumpang maupun traffic pergerakan frekuensi pesawatnya. Tak heran di Soekarno Hatta traffic pesawat menjadi traffic grid locked, macet total padat dan tidak ada tambahan slot sama sekali.

Kita harus bersabar dengan rencana pemerintah akan membangun bandara alternatif sebagai pendamping bandara Soetta yakni pembangunan bandara Kertajati di Karawang yang sudah direncanakan era Presiden SBY akan jadi terealisir pada tahun 2018. Masih ada lagi akan dibangun bandara Aerospacepark, bandara terintegrasi di Majalengka sebagai bandara Hussein sastranegara yang terintegrasi ada lapangan terbang, sekolah pilot, perumahan dan rumah sakit pegawai udara serta sekolahan untuk anak-anak pilotnya, meniru konsep di bandara Qatar, one stop shopping airport era modern terkini.

Seolah tidak mau kalah dengan presiden pendahulunya, Presiden kita saat ini Jokowi dalam running text di sebuah televisi terkenal awal minggu Maret 2015 setelah kunjungan di Sabang Aceh, mencanangkan beberapa terobosan untuk mengembangkan gairan bisnis penerbangan di Indonesia dengan segera membangun: 13 jalur rel kereta api yang terkoneksi ke bandara. 

Bisa jadi setelah sukses Kuala Namu disusul ,bandara Soetta yang terkoneksi jalur kerata api, maka jalur rel kereta api bisa dipertimbangkan untuk bandara-bandara sebagai berikut: Juanda (Sidoarjo), Yogyakarta (Kulon Progo), Padang, Palembang, Semarang, Denpasar, Makassar, Balikpapan, Banjarmasin, Bandung, dan Pekanbaru, adalah beberapa bandara yang mempunyai kepadatan penumpang memadai dan jarak kota ke bandara lumayan cukup jauh. Kenyamanan penumpang udara yang sudah membayar tiket pesawat mahal memang patut diganjar dengan fasilitas yang memadai dan manusiawi, serta menciptakan moda transportasi yang bersinergi, darat, dan udara.

Dengan banyaknya pesawat jenis turbo propeller ATRnya juga Wings Air, Garuda, Tri Nusa, Sky Aviation, maka akan terhubung kota-kota ke Pinangsori, Gunung Sitoli, Lhokshumauwe, belum lagi rute ruteke Medan?Padang, Batam, Banda Aceh, Pekanbaru, Palembang, Tanjung Karang, Bengkulu, Saumlaki, Langgur Pulau Kei, Meulaboh di Aceh, serta kota tetangga Johor Bahru, Singapore adalah contoh beberapa kota yang mulai dibuka kembali dari Medan.

Saya rasa beberapa bandara di kota kota besar di Indonesia seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, bahkan Surabaya, Bali, Balikpapan, Makassar, Manado dalam waktu dekat akan mengalami kepadatan penumpang dan frekuensi yang semakin mendera. Mengingat saat ini beberapa maskapai mengembangkan networking ke kota kota kecil kabupaten sebagai bagian dari percepatan ekonomi daerah?otonomi daerah yang terus digenjot utamanya di sektor perhubungan udara.

Di jawa saja beberapa rute untuk kapasitas pesawat kecil Cessna, Atr mulai merambah kota kota Halim Jakarta timur ke Pangandara, Semarang Cilacap oleh Susi Air, Surabaya ?Banywungi, disediakan penerbangan Wing's air dan Garuda Indonesia. Belum lagi di bandara Balikpapan dan Makassar, banyak sekali saat ini dibuka rute-rute misalnya Makassar ke Luwuk, Kolaka, Mamuju, atau dari Balikpapan ke Berau, tarakan yang tentu lambat laun akan meningkatkan traffik frekuensi maskapai di beberapa bandara favorit. 

Bila hal ini tidak cepat di antisipasi oleh pemerintah dan otoritas bandara akan banyak merugikan akselerasi pertumbuhan bisnis di daerah serta maskapai juga akan sulit mengembangkan ekspansi bisnisnya di market lokal. Memang karakter bisnis penerbangan di Indonesia sedikit unik, dilain hal, secara makro bisnis penerbangan niaga masih dihantui kurs dollar yang lumayan diatas assumsi pebisnis penerbangan. Namun di lain hal, masyarakat Indonesia sudah lebih 10 tahun sudah menikmati mudahnya serta efisiennya melakukan perjalanan bisnis dengan memakai moda transportasi udara, utamanya setelah lahirnya beberapa maskapai berkonsep LCC, sehingga tarifnya bisa berkompetsisi dengan tiket Kereta api dan kapal Pelni.

Namun di sisi lain, nampaknya pihak pemerintah regulator otoritas penerbangan di Indonesia sangat telat mengantisipasi pertumbuhan bisnis penerbangan niaga di Indonesia. Dengan kekuatan kekayaan 233 bandara di Indonesia, armada pesawat komersial yang menerbangi udara Indonesia ada 500 kabupaten, 16 maskapai niaga berjadwal dan 240 juta potensi penumpang transport udara. Sungguh potensi ekonomi udara RI luar biasa besarnya.

Kalau kita kembali ke kesiapan otoritas bandara di ibukota, sangatlah miris keadaannya. Di tengah dinaikkannya airport tax di 5 kota bandara RI beberapa bulan yang lalu, sungguh miris melihat pembangunan bandara di Kulonprogo yang relatif telat 2 tahun molor. Di ibukota bandara Sukarno Haatta baru terminal 3 Ultimate yang dibenahi namun sebenarnya yang sangat diperlukan adalah run way ke 3, mengingat dengan pergerakan 72x per jam saat ini, sudah di luar kapasitas dimana 2 run way sebenarnya hanya di design untuk 30 x pergerakan pesawat 1 jam nya. Sebagai Sriwijaya Air Ingin IPO?

Garuda Indonesia juga dirugikan karena sebagai anggota aliansi global Skyteam yang dituntut memberikan service level kelas dunia namun kenyataannya terbalik. Salah gate di T3U masih sering terjadi hingga saat ini. Begitu juga kondisi bandara di Adi Sucipto Yogyakarta sebagai kota destinasi wisata, bila pasawat mendapatkan parking stand paling timur ujung di Yogyakarta maka akan sangat menyiksa penumpang bila hendak turun menuju arrival hall di terik panas matahari atau kehujanan bila hujan karena ketiadaan aero bridge dan atau tidak tersedia bus yang mengantar penumpang dari passenger stair dari parking stand ke arrival hall yang berjarak kira kira 150 meter.

Bisa Anda bayangkan bila opa-opa dan oma-oma mau berlibur ke Yogyakarta sudah dihadapkan hal yang menjengkelkan saat kali pertama di landasan Adi Sucipto karena berjalan terik atau kehujanan (yang tersedia hanya payung). Penderitaan penumpang pesawat di Bandara Adi Sucipto nampaknya akan terus berlanjut sampai dengan tahun 2020, dimana Bandara pengganti Kulon Progo akan rampung dan bisa dioperasikan.

Segera benahi bandara-bandara kita

Berikut kami ilustrasikan mantan Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono dalam sebuah seminar menyatakan sebagai berikut: ?Indonesia sebagai negara kepulauan dengan populasi penduduk kurang lebih 270 juta saat ini memiliki 233 bandara komersial. 25 bandara dari 233 bandara komersial tersebut dikelola oleh Angkasa Pura I (Persero) dan Angkasa Pura II(Persero). 80% penumpang di Indonesia melewati 25 bandara tersebut. Wajar jika bandara menjadi infrastruktur yang vital bagi sistem transportasi dan perekonomian nasional.?

Namun apa kenyatannya kondisi saat ini bila anda landing di Sukarno Hatta Airport dan pesawat Anda mendapatkan parking di remote area, naik bus lalu ke arrival, dan tempat bagasi. Konyolnya bandara ini Soetta mengklaim dirinya sebagai bandara yang menuju level servis kelas dunia. Bila keluar mencari taksi favorit karena di ibukota hanya 1 atau 2 taksi yang dipercaya masyarakat, terjadilah antrian taksi sudah menunggu puluhan penumpang lainnya. 

Hawa sangat gerah karena kita harus menunggu di luar area. Bukan main hak-hak penumpang dan maskapai begitu mudah diabaikan utamanya dalam mendapat kenyamanan saat di bandara sementara otoritas bandara menaikkan airport tax tanpa sungkan sungkan walau dengan dalih menaikkkan level service ke penumpang. 

Per 1 Oktober airport tax untuk T3U naik menjadi rp.130.000 dari semula rp.60.000, bukan main kenaikkan airport t3u yang mendadak. Nampaknya memberatkan konsumen penerbangan tentunya. Demikian juga dengan penderitaan maskapai, utamanya di Bandara Soetta karena lambatnya antispasi perluasan dan tambahan run way ke 3, tak pelan tiap hari sampai dengan saat ini terjadi delays untuk take off, landing dan itu biaya terbuang untuk fuel burn, rata-rata dihitung biaya fuel burnt karena delay 10 juta rupiah per pesawat per delays.

Belum lagi informasi simpang siur dan mendadak dari airport otority saat pesawat mau landing, sering tiba-tiba terjadi perubahan aircraft akan parkir di garbarata dirubah mendapat parking stand di remote area. Ini sangat merugikan maskapai dan penumpang, karena akibatnya terjadi penurunan level service serta bisa juga kompalin dari penumpang maskapai karena seringnya terjadi perubahan parking stand di remote yang tidak menyenangkan penumpang apalagi penumpang tua dan ibu-ibu dengan bayinya, bikin repot.

Dalam keadaan fasilitas bandara yang basik saja masih banyak kekurangan, akankah dunia aviasi Indonesia akan siap bertarung dan berbenah menghadapi Asean Open sky dengan maskapai Negara tetangganya? Bila hal mendasar di bandara bandara kita saja masih banyak kekurangan. Belum lagi masalah binatang peliharaan penduduk lokal kadang masuk menerobos ke runway ?di Indonesia timur hal tersebut adalah biasa yang sangat membahayakan keselamatan penerbangan mengingat rata-rata bandara di pelosok pagar pembatasnya seadanya atau boleh dibilang ?bandara tiada berpagar. 

Maka tidak heran ICAO (International Civil Aviation Organization) organinasi dunia yang berwenang mengontrol keselamatan penerbangan dunia, menilai keselematan penerbangan niaga di Indonesia dinilai belum layak berdasar level kelas dunia .Bandara adalah wajah muka kita paling depan, bila maskapai-maskapai luar negeri (ASEAN) tahun 2015 memasuki wilayah kita dan membawa wisman Negara, alangkah malunya kita, gembar-gembor destinasi wisata kita adalah tujuan unggulan dunia, namun begitu landing di bandara kita, harus kehujanan di apron, naik turun bus dari remote area saat landing jam 22 malam, eskalator berjalan yang sangat pendek di terminal 3 Ultimate, anteran taksi yang panas dan yang antri berjibun, semua itu adalah pekerjaan rumah kita yang mendasar tapi sangat lambat penyelesainnya. Semoga kita cepat berbenah.

Oleh: Arista Atmadjati,SE.MM

Wadir Akpar Buana Wisata Yogyakarta

Leave A Reply

Your email address will not be published.