Berita Nasional Terpercaya

Ahok Tambah Rentetan Petahana yang Keok

0

JAKARTA, HarianBernas.com – Kekalahan pasangan calon gubernur DKI Jakarta dan wakil gubernur Basuki-Djarot, menambah rentetan sejarah kekalahan petahana.

Sejak Pemilihan Umum 2004, petahana (incumbent) yang dipaksa bertarung di putaran kedua selalu tumbang. Kekalahan pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) menambah catatan itu. Sejarah di Pemilu Indonesia berulang.

Memang belum panjang perjalanan Pemilu dalam arti pemilihan langsung di Indonesia. Namun, dari belum panjangnya perjalanan itu, sejarah mencatat “kutukan” bagi petahana di putaran kedua.

Dari hasil lembaga survei sudah merilis hasil hitung cepat alias quick count untuk putaran kedua Pilgub DKI 2017. Pasangan nomor urut 3 Anies Baswedan-Sandiaga Uno unggul dalam hitung cepat ini.

Berdasarkan quick count Saiful Muzani Research Center (SMRC) dengan perolehan 99,73% per pukul 17.57 WIB, Rabu (19/4/2017), Anies-Sandi unggul atas pasangan nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – Djarot Saiful Hidayat yakni 58,06% atas 41,94%. Kemudian pada versi Populi Center dengan perolehan 99,4%, Anies-Sandi mendapat 58,24% dan Ahok-Djarot 41,76%.

Selanjutnya menurut versi LSI saat data masuk sudah 99,7%, pasangan Anies-Sandi meraih 55,41% sedangkan Ahok-Djarot 44,59%. Sementara itu Polmark pada quick count versinya dengan data masuk sebesar 99,75%, pasangan Anies-Sandi mendapat 57,53% dan Ahok-Djarot 42,47%.

Berkaca pada quick count putaran pertama Pilgub DKI 2017, hasilnya tak jauh beda dengan penghitungan resmi KPU. Saat itu quick count versi LSI yakni Ahok-Djarot mendapat 43,2%, Anies-Sandi 39,9%, dan pasangan nomor urut 1 Agus Yudhoyono-Sylviana Murni 16,3%.

Pada putaran pertama, quick count SMRC menempatkan Ahok-Djarot di posisi pertama dengan perolehan 43,1%, lalu Anies-Sandi 40,2%, dan Agus-Sylvi 16,7%. Kemudian versi Polmark juga menempatkan Ahok-Djarot di posisi puncak dengan 41,2%, Anies-Sandi 39,7%, dan Agus-Sylvi 19,1%.

Hasil itu tak berbeda jauh dari real count KPU putaran pertama yakni Ahok-Djarot 42,96% (2.357.785 suara), Anies-Sandi 39,97% (2.193.530), dan Agus-Sylvi 17,06% (936.461). Hasil ini membuat Ahok-Djarot dan Anies-Sandi melaju ke putaran kedua karena tak ada yang meraih angka 50%+1.

Ahok dan Djarot merupakan pasangan calon yang juga petahana. Duet gubernur-wakil gubernur itu meneruskan pasangan Joko Widodo-Ahok yang menang pada Pilgub DKI 2012. 

Joko Widodo atau Jokowi kemudian terpilih menjadi Presiden RI pada tahun 2014 sehingga Ahok naik menjadi Gubernur DKI. Ahok kemudian memilih Djarot yang pernah memimpin Kota Blitar selama 10 tahun sebagai pendampingnya.

Pada tahun 2012, Cagub DKI yang juga petahana Fauzi Bowo pun kalah. Ketika itu Fauzi Bowo alias Foke berpasangan dengan Nachrawi Ramli.

Pilgub DKI 2012 juga dilangsungkan dua putaran. Namun Foke terus berada di posisi kedua dalam dua putaran kala itu.

Ada pun perolehan suara pada putaran pertama Pilgub DKI 2012 yakni Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli mendapat 1.476.648 suara (34,05 persen), Hendardji Soepandji dan Riza Patria mendapat 85.990 suara (1,98 persen), Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama meraih 1.847.157 suara (42,60 persen), Hidayat Nur Wahid dan Didik J Rachbini meraih 508.113 suara (11,72 persen), Faisal Basri dan Biem Benjamin mendapat 215.935 suara (4,98 persen), dan Alex Noerdin dan Nono Sampono meraih 202.643 suara (4,67 persen). Lalu pada putaran kedua Fauzi Bowo-Nachrawi mendapat 2.120.815 suara dan Jokowi-Ahok mendapat 2.472.130.

Jika hasil quick count putaran kedua Pilgub DKI 2017 ini tak beda jauh dengan real count KPU nantinya, maka calon yang juga petahana di DKI telah kalah dua kali berturut-turut. Mari tunggu pengumuman resmi KPU!

Tiga Hal Yang Buat Anies-Sandi Unggul

Ada tiga faktor yang melahirkan kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di semua hasil quick count (hitung cepat) lembaga survei pada putaran dua Pilkada DKI Jakarta. 

“Pertama, suara yang dulunya ke pasangan Agus Yudhoyono-Slyviana Murni sekitar 17 persen itu, 13 persennya ke pasangan Anies-Sandi, terus yang dulunya 'golput' pindah ke Anies dan Sandi,” kata Direktur Lembaga Survei Indomatrik, Husin Yazid, saat konferensi pers di Bangi Kopitiam, Jakarta Pusat, Rabu (19/4).

Faktor dua, lanjut Husin, Anies-Sandi diuntungkan dengan gerakan antipati dari masyarakat yang mengecam gerakan bagi-bagi bahan pokok (sembako) pada minggu tenang. 

“Pada saat minggu tenang, tim dari Ahok-Djarot kan sempat bagi-bagi sembako. Benar-benar tenang mereka melancarkan money politic, masyarakat ini jadi antipati dengan Ahok-Djarot. Aparat juga mengetahui hal ini tapi seakan-akan melakukan pembiaran,” jelasnya. 

Terakhir, terkait sikap Anies yang berwibawa, tenang dan sopan. Faktor ketiga ini membuat pasangan yang diusung Partai Gerindra dan PKS ini meraup banyak suara di putaran yang pertama. 

“Jadi, faktor-faktor inilah yang membuat suara Anies dan Sandi terdongkrak berdasarkan quick count hari ini,” ujar Husin.

Kasus Penistaan dan Persoalan SARA yang Jatuhkan Suara Badja

Sementara itu pendiri Lingkar Madani atau LIMA Ray Rangkuti menjelaskan, soal “kutukan” petahana tak pernah menang bila terjadi dua putaran tak ada penjelasan tunggal untuk satu peristiwa yang sekalipun sama.  

Dalam banyak hal, ada perbedaan mencolok antara petahana Fauzi Bowo atau Foke dengan Ahok. Kita mulai saja dengan tingkat kepuasaan pada kinerja Ahok. Faktanya mencapai 70%. Secara teoritis, tingkat kepuasaan ini berbanding lurus dengan elektabilitas.  

“Faktanya tidak terjadi. Artinya, bukan soal kinerja yang jadi alasan tumbangnya Ahok. Yang bisa dijelaskan adalah soal alasan SARA,” jelas Ray.

Menurut Ray, sejak Ahok ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama, elektabilitas Ahok merosot drastis. Sekalipun setelah persidangan kembali merangkak. Tapi, kalau cepat dibanding dengan gerakan tolak Ahok karena terdakwa penista agama, dan bukan muslim. Dua isu yang secara massif digemakan di banyak rumah-rumah ibadah.  Saat yang sama, berbagai gangguan psikologis banyak menimpa pemilih Ahok.  

“Pernyataan kafir, munafiq dan sebagainya, memberi sumbangan bagi lambannya peningkatan suara Ahok. Hal lain, jika dilihat dari beberapa seri debat, penilaian terhadap Ahok selalu mendapat positif,” jelasnya.

Artinya, kata Ray tak ada masalah dengan visi-misi Ahok. Nah,  jika tingkat kepuasaan tinggi, visi misi mendapat dukungan positif,  maka yang tersisa dari itu adalah soal SARA. Inilah yang membedakan Ahok dengan petahan sebelumnya.  

“Jadi, seperti disebutkan di atas, selalu ada sebab yang berbeda,” pungkas Ray.

Sementara pengamat politik dari Media Survei Nasional (Median) Rico Marbun menyebut bahwa posisi Boy Sadikin yang menjadi Ketua Tim Relawan menjadi salah satu faktor kemenangan Anies-Sandi. 

Menurut Rico, Boy Sadikin menjadi simbol retak dan rapuhnya soliditas elite pendukung Ahok-Djarot. Sosok Boy Sadikin di balik kemenangan Anies-Sandi semestinya bisa menjadi renungan bagi elite partai dalam membaca suara hati konstituennya. 

“Boy Sadikin itu menjadi simbol retak dan rapuhnya soliditas elite politik pendukung Ahok-Djarot. Tapi ada juga yang harus menjadi renungan bagi elite semua partai untuk jujur membaca suara hati konstituennya,” kata Rico. 

Legowo

Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku menerima hasil hitung cepat Pilkada DKI Jakarta, Rabu (19/4/2017).

Ahok menghormati dengan lapang dada atau legowo dalam bahasa Jawa.

“Saya adalah orang yang percaya kekuasaan itu datangnya dari Tuhan. Nggak ada seorang pun bisa lakukan apa tanpa seizin Tuhan. Jadi kalau sudah seizin Tuhan apa pun bisa terjadi,” kata Ahok.

Dirinya tetap yakin Tuhan akan memberikan yang lebih baik untuknya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.